Jakarta
Selatan - Mengingat Penyebaran Virus Corona Semakin Meluas Dikutip
Dari Laman Resmi MUI dan Surat Edaran Saya Bekerja Ada sebuah
intruksi dimana untuk berkerja dari rumah untuk menghindari dan
beriktiyar supaya pandemi virus ini tidak meluas.
dikutip
dari salah satu channel youtube juga di lakukan penutupan di masjid
istiqlal dan madinah ,mekkah ,saya merasaa sedih melihat kondisi
seperti ini semoga coretan ini menjadi saksi sejarah kelak bahwa
sejatinya hidup adalah sementara, mari kita hilangkang sifat
takabbur, merasa dirinya paling hebat paling pintar, mungkin ini
sebuah teguran kecil agar kita selalu bersikap tawadhu dan selalu
mengingat yang berkuasa bukannlah uang,bukan aset melainkan hak
mutlak ada di Allah Swt.
Berikut
Saya Lampirankan detail Fatwa MUI dikutip dari laman resmi Donwload
MUI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 14 Tahun 2020
MENIMBANG
:
a.
bahwa COVID-19 telah tersebar ke berbagai negara, termasuk ke
Indonesia;
b.
bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan COVID-19
sebagai pandemi;
c.
bahwa perlu langkah-langkah keagamaan untuk pencegahan dan
penanggulangan COVID-19 agar tidak meluas;
d.
bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang
Penyelenggaran Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19 untuk
dijadikan pedoman:
MENGINGAT
:
1.
Firman Allah SWT:
Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buahbuahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". (QS. Al-Baqarah [2]:
155-156).
Katakanlah:
"Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami,
dan
hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal".
(QS. Al-Taubah [9] : 51).
Setiap
bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri,
semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu
tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan
pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.
(QS. al-Hadid [57]: 22-23).
Dan
peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa
Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal [8]: 25).
…
dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan …
(QS. al-Baqarah [2]: 195).
Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu … .
(QS. al-Taghabun [64]: 16).
…
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu… (QS. al-Baqarah [2]: 185).
2.
Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
Dari
Nabi saw sesungguhnya beliau bersabda: “Jika kamu mendengar wabah
di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika
terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat
itu." (HR. al-Bukhari).
Sesungguhnya
Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilyaah
bernama Sargh. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah
Syam.
Abdurrahman
bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad saw pernah
berkata,
"Jika
kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian
memasukinya.
Tapi
jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan
tempat itu." (HR. al-Bukhari).
Sesungguhnya
‘Umar ibn al-Khaththab ra keluar menuju Syam. Hingga ketika sampai
di Sargh, beliau ditemui oleh para Amir pasukan yakni Abu ‘Ubaidah
ibn al-Jarrah dan para sahabatnya. Mereka memberitahukan kepadanya
bahwasanya wabah sedang melanda bumi Syam. Ibn ‘Abbas berkata:
‘Umar lalu berkata: “Panggilkan untukku kaum Muhajirin awal (yang
mengalami shalat ke dua qiblat, yakni yang berhijrah sebelum qiblat
dipindahkan ke Masjidil-Haram—Syarah anNawawi).” Ia lalu
bermusyawarah dengan mereka dan memberitahukan bahwa wabah sedang
melanda Syam. Mereka kemudian berbeda pendapat. Sebagian berkata:
“Anda sudah keluar untuk satu keperluan dan kami tidak memandang
pantas anda kembali darinya.” Sebagian lainnya berkata: “Anda
membawa rombongan khususnya para shahabat Rasulullah saw, kami tidak
memandang baik anda membawa mereka masuk ke wabah tersebut.” ‘Umar
lalu berkata: “Silahkan kalian semua beranjak dari tempatku.
Kemudian ‘Umar berkata: “Panggilkan untukku kaum Anshar.” Maka
aku (Ibn ‘Abbas) panggil mereka dan ia lalu bermusyawarah dengan
mereka. Ternyata kaum Anshar berbeda pendapat seperti halnya
Muhajirin. ‘Umar lalu berkata: “Silahkan kalian semua beranjak
dari tempatku. Kemudian ‘Umar berkata: “Panggilkan untukku kaum
tua Quraisy dari Muhajir al-Fath (yang hijrah sesudah pindah qiblat
dan sebelum Fathu Makkah).” Maka aku (Ibn ‘Abbas) panggil mereka.
Ternyata tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka, semuanya
menyarankan: “Sebaiknya anda pulang kembali bersama rombongan dan
jangan membawa mereka masuk ke wabah itu. Umar lalu menyerukan kepada
rombongan: “Sungguh besok aku akan berkendaraan pulang, maka
bersiap-siaplah kalian.” Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah berkata:
“Apakah engkau hendak lari dari taqdir Allah?” ‘Umar menjawab:
“Seandainya saja yang mengatakan itu bukan engkau wahai Abu
‘Ubaidah. Ya, kami lari dari taqdir Allah menuju taqdir Allah juga.
Bukankah jika kamu menggembala unta dan turun ke sebuah lembah yang
di sana ada dua tepi lembah, yang satu subur dan yang satu tandus,
lalu ketika kamu menggembala di tepi yang subur berarti kamu
menggembala dengan taqdir Allah? Dan bukankah pula ketika kamu
menggembala di tepi lembah yang tandus, kamu juga menggembalanya
dengan taqdir Allah?. Ibn ‘Abbas berkata: ‘Abdurrahman ibn ‘Auf
kemudian datang, ia tidak hadir musyawarah sebelumnya karena ada
keperluan. ‘Abdurrahman lalu berkata: “Aku punya ilmu tentang
permasalahan ini. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jika
kalian mendengar ada wabah di satu daerah, janganlah kalian datang ke
sana. Tetapi jika wabah itu menyerang satu daerah ketika kalian sudah
ada di daerah tersebut, janganlah kalian keluar melarikan diri
darinya. Kata Ibn ‘Abbas: ‘Umar lalu bertahmid kepada Allah dan
kemudian pulang. (HR. al-Bukhari).
Rasulullah
saw bersabda: Jangan campurkan (onta) yang sakit ke dalam (onta) yang
sehat.” [HR Muslim].
Rasulullah
saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular, thiyarah dan burung
hantu dan shafar (yang dianggap membawa kesialan). Dan larilah dari
penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. al-Bukhari).
Rasulullah
saw bersabda: “Wabah Tha’un adalah suatu ayat, tanda kekuasaan
Allah Azza Wajall yang sangat menyakitkan, yang ditimpakan kepada
orang-orang dari hambaNya. Jika kalian mendengar berita dengan adanya
wabah Tha’un, maka jangan sekali-kali memasuki daerahnya, jika
Tha’un telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka
janganlah kalian keluar darinya.” (HR. Muslim).
Nabi
saw. bersabda: "Amal-amal umatku disampaikan kepadaku, amal baik
atau amal buruknya. Kutemukan diantara amal terbaik adalah
menyingkirkan hal membahayan dari jalan. Dan kutemukan diantara amal
terburuknya adalah dahak di masjid yang tidak dibersihkan" (HR
Muslim).
Abu
Hurairah berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda :
“Apa
saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan
apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut
kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah
karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau taat
dan patuh)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Barang
siapa makan bawang putih dan bawang merah atau lainnya tidak boleh
mendekati masjid. (HR. al-Bukhari).
3.
Qaidah Fiqhiyya
“Tidak
boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain
“Menolak
mafsadah didahulukan dari pada mecari kemaslahatan”.
“Kesulitan
menyebabkan adanya kemudahan”
“Bahaya
harus ditolak”
“Kemudharatan
harus dicegah dalam batas-batas yang memungkinkan”
“Kemudlaratan
dibatasi sesuai kadarnya”.
“Kebijakan
pemimpin [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti
kemaslahatan“.
MEMPERHATIKAN
:
1.
Pendapat al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ juz 4 halaman 352
tentang gugurnya kewajiban shalat Jum’at:
(Ketiga) Tidak wajib shalat Jum’at bagi orang sakit, meskipun
shalat jum’atnya orang kampung tidak sah karena jumlah jama’ahnya
kurang karena ketidakhadirannya. Berdasarkan hadis riwayat Thariq dan
lainnya, al-bandanijy berkata: “andaikan orang yang sakit
memaksakan untuk sholat jum’at maka lebih utama”. Imam-imam
madzhab Syafi’i berpendapat: “bahwa sakit yang menggugurkan
kewajiban shalat jum’at adalah sakitnya orang yang mendapatkan
masyaqqah yang berat bila dia hadir pada shalat jum’at”. Imam
al-Mutawalli berkata: “Orang yang terkena diare berat juga tidak
wajib shalat jum’at, bahkan jika dia tidak mampu menahan diarenya
maka haramnya baginya shalat berjama’ah di masjid, karena akan
menyebabkan masjid menjadi najis”. Imam al-Haramain berkata:
“Sakit yang menggugurkan kewajiban shalat jum’at itu lebih ringan
keadaanya dari pada sakit yang menggugurkan kewajiban berdiri saat
sholat fardhu. Sakit tersebut seperti uzur jalanan becek atau hujan
atau semisalnya”.
2.
Pendapat Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar Bafadhal al Hadramy
al Sa’dy al Madzhajy dalam kitab al-Mukaddimah alHadramiyah hal 91
tentang udzur shalat Jum’at dan shalat jama’ah:
Di
antara udzur shalat Jum’at dan shalat berjama’ah adalah hujan
yang dapat membasahi pakaiannya dan tidak diketemukan pelindung
hujan, sakit yang teramat sangat, merawat orang sakit yang tidak
terdapat yang mengurusinya, mengawasi kerabat (istri, mertua, budak,
teman, ustadz, orang yang memerdekannya) yang hendak meninggal atau
berputus asa, khawatir akan keselamatan jiwa atau hartanya, menyertai
creditor dan berharap pengertiannya karena kemiskinannya, menahan
hadats sementara waktu masih lapang, ketiadaan pakaian yang layak,
kantuk yang teramat sangat, angin kencang, kelaparan, kehausan,
kedinginan, jalanan becek, cuaca panas, bepergian ke sahabat dekat,
memakan makanan busuk setengah matang yang tidak bisa dihilangkan
baunya, runtuhnya atap-atap pasar, dan gempa.
3.
Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi
Fatwa pada tanggal 16 maret 2020.
Dengan
bertawakkal kepada Allah SWT.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PENYELENGGARAN IBADAH DALAM SITUASI
TERJADI WABAH COVID-19
Pertama
: Ketentuan Umum
Dalam
fatwa ini yang dimaksud dengan : COVID-19 adalah coronavirus desease,
penyakit menular yang disebabkan oleh coronavirus yang ditemukan pada
tahun 2019.
Kedua
: Ketentuan Hukum
1.
Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi
setiap hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit, karena hal itu
merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat
al-Khams).
2.
Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi
diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain.
Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur, karena shalat
jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga
berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.
Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang
terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib,
shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta
menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
3.
Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak
terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi
atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia
boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat
zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima
waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.
b.
Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah
berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib
menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri
agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung
(bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan
sering membasuh tangan dengan sabun.
4.
Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan
yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat
jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan
wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing.
Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang
melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran
COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih
dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri
pengajian umum dan majelis taklim.
5.
Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib
menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas
ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima
waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum
lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan
tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19.
6.
Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam menetapkan
kebijakan penanggulangan COVID-19 terkait dengan masalah keagamaan
dan umat Islam wajib menaatinya.
7.
Pengurusan jenazah (tajhiz al-janaiz) yang terpapar COVID-19,
terutama dalam memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai
protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap
memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan
menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar
tidak terpapar COVID-19.
8.
Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan/atau menyebabkan kerugian
publik, seperti memborong dan/atau menimbun bahan kebutuhan pokok
serta masker dan menyebarkan informasi hoax terkait COVID-19 hukumnya
haram.
9.
Umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah
di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, sedekah, serta
senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan
keselamatan dari musibah dan marabahaya ( daf’u al-bala’),
khususnya dari wabah COVID-19.
Ketiga
: Rekomendasi
1.
Pemerintah wajib melakukan pembatasan super ketat terhadap
keluar-masuknya orang dan barang ke dan dari Indonesia kecuali
petugas medis dan barang kebutuhan pokok serta keperluan emergency.
2.
Umat Islam wajib mendukung dan menaati kebijakan pemerintah yang
melakukan isolasi dan pengobatan terhadap orang yang terpapar
COVID-19, agar penyebaran virus tersebut dapat dicegah.
3.
Masyarakat hendaknya proporsional dalam menyikapi orang yang suspect
atau terpapar COVID-19. Oleh karena itu masyarakat diharapkan bisa
menerima kembali orang yang dinyatakan negatif dan/atau dinyatakan
sudah sembuh ke tengah masyarakat serta tidak memperlakukannya secara
buruk.
Keempat
: Ketentuan Penutup
1.
Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan
jika di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan, akan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
2.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat
mengetahuinya, semua pihak dihimbau untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan
di :
Jakarta
Pada tanggal : 21 Rajab 1441 H 16 Maret 2020 M
MAJELIS
ULAMA INDONESIA KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF
Sekretaris
DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA
Mengetahui,
DEWAN
PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
Wakil
Ketua Umum KH. MUHYIDDIN JUNAEDI, MA
Sekretaris
Jenderal DR. H. ANWAR ABBAS, M.M, M. Ag
Untuk
Link Nya Resmi bisa Di Donwload Disini
Terima
Kasih semoga bermanfaat
AIN
– Jakarta Selatan 22 Maret 2020
#Corona
#Covid19 #Fatwamui #Jakarta